Melihat sepintas pada judul tulisan di atas, mungkin akan memunculkan anggapan bahwa tulisan ini terlalu mengada-ngada, naif, konyol dan cenderung tendensius. Tapi sebagai sebuah refleksi (bahan renungan) pada hari kemerdekaan negeri kita, tidak ada salahnya jika tulisan ini dijadikan sebagai salah satu acuan untuk mengkaji diri: seberapa cintakah kita terhadap budaya sendiri, dan seberapa banggakah kita menjadi orang Indonesia?
Sebagai seorang pengajar terkadang saya merasa janggal ketika mengabsen siswa di kelas. Saya merasa berada di negeri “antah barantah” yang bukan bernama Indonesia. Terlebih, sebagai pengajar di sebuah kota Kecamatan yang berjarak 18 km dari pusat kota Sukabumi, kejanggalan ini sangat terasakan sekali.
Yang membuat janggal adalah begitu banyaknya nama-nama asing yang melekat pada siswa-siswa di kelas, seperti: Grace, Chrystine, Steffany, Bonita, Hendrik, Jimmy, Marcell, dll., padahal pemilik nama tersebut jelas-jelas orang Indonesia asli (bukan blasteran). Bahkan yang lebih mengherankan adalah sebagian orangtua siswa (yang namanya "aneh") tersebut hanya berprofesi sebagai buruh atau kuli.
Namun yang terjadi di masyarakat kita sekarang ini adalah bahwa nama sudah tidak lagi menunjukkan identitas suku/bangsa. Nama hanya dijadikan sebagai identitas diri saja sehingga kadang kita sulit untuk membedakan mana orang Indonesia dan mana yang bukan jika kita tidak langsung berpapasan dengan pemilik nama tersebut. Misalnya nama Chrystine (dan nama-nama yang disebutkan di atas), mungkin sepintas kita akan mengira bahwa orang tersebut berdarah Eropa dan beragama Kristen, tapi dalam kenyataannya orang tersebut berkulit sawo matang, berhidung pesek, suku sunda dan beragama Islam.
Yang terjadi dalam masyarakat (Islam) kita sekarang, sabda Nabi tersebut sering disalahfahami seolah-olah bahwa nama yang baik haruslah “berbau” Arab untuk mengesankan bahwa dia seorang muslim. Padahal di Arab sendiri nama seperti Nabila, Nazma, Thaariq, dll., mungkin beragama Nasrani (Kristen) atau Yahudi.
Bangsa kita adalah bangsa yang besar dengan keanekaragaman suku dan budaya yang melimpah. Banyak nama-nama yang baik yang bisa kita ambil dari sana. Galuh Sukma Umbara misalnya, atau Bintang Cahya Semesta, merupakan nama yang mudah dikenali sebagai orang Sunda, karena kata Galuh (Permata, juga berarti nama sebuah Kerajaan di Ciamis), Umbara (Mengembara), dan Cahya (Cahaya) hanya ada dalam Bahasa Sunda. Begitupun dengan nama Made (Bali), Bagus (Jawa), Cut (Aceh), Andi (Sulawesi), dan nama-nama dari daerah lain merupakan nama-nama yang baik dan sekaligus mencirikan identitas suku/bangsa-nya.
Memang masalah nama ini sepintas kelihatan sepele, tapi jika kita telaah lebih mendalam masalah nama ini memiliki peran besar dalam menunjukkan budaya, identitas, rasa nasionalisme, dan kebanggaan menjadi bagian dari sebuah bangsa. Karena itu berikanlah kepada anak-anak kita nama dari budaya Indonesia supaya budaya kita tetap terjaga dan identitas bangsa tidak menjadi rancu karenanya.
Hiduplah bangsaku, hiduplah tanah airku, hiduplah Indonesiaku!!!
Sebagai seorang pengajar terkadang saya merasa janggal ketika mengabsen siswa di kelas. Saya merasa berada di negeri “antah barantah” yang bukan bernama Indonesia. Terlebih, sebagai pengajar di sebuah kota Kecamatan yang berjarak 18 km dari pusat kota Sukabumi, kejanggalan ini sangat terasakan sekali.
Yang membuat janggal adalah begitu banyaknya nama-nama asing yang melekat pada siswa-siswa di kelas, seperti: Grace, Chrystine, Steffany, Bonita, Hendrik, Jimmy, Marcell, dll., padahal pemilik nama tersebut jelas-jelas orang Indonesia asli (bukan blasteran). Bahkan yang lebih mengherankan adalah sebagian orangtua siswa (yang namanya "aneh") tersebut hanya berprofesi sebagai buruh atau kuli.
Hilangnya identitas bangsa
Memang ada pepatah yang mengatakan “apalah artinya sebuah nama”. Tapi sebenarnya nama merupakan hal penting dalam kehidupan kita karena selain menunjukkan identitas diri, nama juga dapat menunjukkan identitas suatu suku/bangsa. Dengan nama itu kita bisa menerka asal muasal pemilik nama tersebut berikut kepercayaan yang dianutnya. Namun yang terjadi di masyarakat kita sekarang ini adalah bahwa nama sudah tidak lagi menunjukkan identitas suku/bangsa. Nama hanya dijadikan sebagai identitas diri saja sehingga kadang kita sulit untuk membedakan mana orang Indonesia dan mana yang bukan jika kita tidak langsung berpapasan dengan pemilik nama tersebut. Misalnya nama Chrystine (dan nama-nama yang disebutkan di atas), mungkin sepintas kita akan mengira bahwa orang tersebut berdarah Eropa dan beragama Kristen, tapi dalam kenyataannya orang tersebut berkulit sawo matang, berhidung pesek, suku sunda dan beragama Islam.
Berikan nama yang baik
Nabi saww (shalallahu ‘alaihi wa aalihi wasalam) mengatakan “Berikan nama yang baik kepada anak-anakmu.” Hal ini bukan berarti bahwa nama anak tersebut harus “berbau” Arab. Yang dimaksudkan Nabi adalah bahwa nama tersebut harus mengandung identitas, pujian, dan harapan (doa). Seperti nama “Bapak Kucing” (Abu Huraeroh) misalnya, merupakan pujian dan sekaligus identitas bahwa pemilik nama tersebut adalah seorang penyayang kucing.Yang terjadi dalam masyarakat (Islam) kita sekarang, sabda Nabi tersebut sering disalahfahami seolah-olah bahwa nama yang baik haruslah “berbau” Arab untuk mengesankan bahwa dia seorang muslim. Padahal di Arab sendiri nama seperti Nabila, Nazma, Thaariq, dll., mungkin beragama Nasrani (Kristen) atau Yahudi.
Nama yang baik adalah nama dari budaya sendiri
Sebagai orang Indonesia, tentunya nama yang baik adalah nama-nama asli Indonesia, yang berasal dari budaya Indonesia (yang belakangan sudah hampir punah tergusur oleh nama-nama asing). Dengan nama Indonesia ini, selain menunjukkan identitas suku/bangsa, juga dapat menunjukkan kebanggaan kita sebagai orang Indonesia. Sehingga apabila nama itu disebut, seluruh bangsa di dunia tahu bahwa pemilik nama itu berasal dari Indonesia. Lihat saja beberapa negara seperti China, Jepang, Malaysia, Thailand, Korea, dan India misalnya, mereka begitu bangga dengan nama dan budaya yang mereka miliki sehingga mereka tidak perlu memberikan nama-nama yang “berbaru asing” kepada anak-anak mereka (kecuali mereka yang blasteran), dan kitapun mudah untuk mengenali asal muasal mereka dari nama-nama mereka. Lantas mengapa kita tidak meniru mereka?Bangsa kita adalah bangsa yang besar dengan keanekaragaman suku dan budaya yang melimpah. Banyak nama-nama yang baik yang bisa kita ambil dari sana. Galuh Sukma Umbara misalnya, atau Bintang Cahya Semesta, merupakan nama yang mudah dikenali sebagai orang Sunda, karena kata Galuh (Permata, juga berarti nama sebuah Kerajaan di Ciamis), Umbara (Mengembara), dan Cahya (Cahaya) hanya ada dalam Bahasa Sunda. Begitupun dengan nama Made (Bali), Bagus (Jawa), Cut (Aceh), Andi (Sulawesi), dan nama-nama dari daerah lain merupakan nama-nama yang baik dan sekaligus mencirikan identitas suku/bangsa-nya.
Memang masalah nama ini sepintas kelihatan sepele, tapi jika kita telaah lebih mendalam masalah nama ini memiliki peran besar dalam menunjukkan budaya, identitas, rasa nasionalisme, dan kebanggaan menjadi bagian dari sebuah bangsa. Karena itu berikanlah kepada anak-anak kita nama dari budaya Indonesia supaya budaya kita tetap terjaga dan identitas bangsa tidak menjadi rancu karenanya.
Hiduplah bangsaku, hiduplah tanah airku, hiduplah Indonesiaku!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar